Kamis, Februari 26, 2009

SISTEM PEMILU 2009 PALING MAHAL DI DUNIA

Dulu orang bersemangat ikut pemilu karena adanya semangat perubahan. Yaitu semangat melawan rezim Orba yang sudah berkuasa terlalu lama, akibat penyelenggaraan pemilu yang curang; menghalalkan segala secara. Waktu itu walaupun rakyat diberi uang untuk memilih Golongan Karya, rakyat tetap tidak terpengaruh oleh money politics tersebut; uangnya diterima tapi mereka tetap berkampanye untuk 2 partai lainnya, PPP dan PDI.

Kondisi tersebut diatas berbeda dengan sekarang. Dikala itu menjadi caleg tidak harus punya uang banyak seperti sekarang. Namun, sistem yang sekarang ini menjadikan Pemilu sangat mahal. Menjadi mahal karena kita menjiplak sistem Pemilu dari Amerika tanpa melihat latar belakang sosial ekonomi kita yang jauh berbeda. Mestinya sistem pemilu itu harus pararel dengan sosial ekonomi daripada masyarakatnya. Negara kita ini penduduknya 230 juta jiwa dan terdiri dari sekian ribu pulau, wilayahnya terpisah-pisahkan oleh laut, menyebabkan sistem yang ada sekarang ini menjadi sangat mahal.

Sebetulnya sistem Pemilu di Era Orba itu tidak harus dihapuskan seluruhnya, melainkan kecurangan yang ada di sistem Pemilu Orba-lah yang harus dihilangkan. Berikutnya yang perlu diperbaiki adalah sistem perekruitmen calon legislatifnya, supaya prinsip-prinsip demokrasinya tidak hilang. Tetapi setelah reformasi yang terjadi adalah, ibarat sebuah rumah karena gentengnya bocor, bukan gentingnya yang diperbaiki tetapi malah rumahnya yang dibongkar. Atau ibarat sebuah lumbung padi, ada tikusnya bukan tikusnya yang dibasmi, tetapi lumbung padinya juga ikut dibakar.

Sebagai perbandingan di Jepang, di Eropa, ataupun negara-negara lain yang sudah maju pun tidak menganut system Pemilu yang selangsung-langsungnya. Perdana Menteri dipilih melalui parlemen, bandingkan dengan sistem kita dulu;capres, wapres, dipilih oleh MPR. Bupati, Gubernur, Walikota, dipilih oleh DPRD, anggota-anggota dewan dipilih dengan sistem proposional melalui daftar nama partai. Kita sekarang ini dengan bangganya mengatakan sistem pemilu kita yang paling demokratis di dunia. Padahal, sistem pemilu kita ini merupakan yang termahal juga di dunia, apalagi kalau dibandingkan dengan kemampuan anggaran dari negara. Negara yang sedang dalam keadaan ekonomi yang sulit ini harus mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk pemilu, dimulai dari legislatif, DPD, pemilu presiden, wapres, gubernur, wagub, walikota, sampai pemilu wakil walikota.

Mestinya semakin demokratis, semakin sejahtera juga rakyat kita. Kedemokratisan itu harus berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, tapi yang terjadi pemilu kita ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Seolah-olah kita demokratis, tapi nyatanya kesejahteraan rakyat malah dilupakan.

Kita semua lupa waktu kita mengkoreksi Orba, khususnya mengenai sistem pemilunya, hal yang paling menonjol yang kita “lawan” adalah kecurangannya bukan sistemnya. Kecurangan dari sistem pemilu Orba itu dimulai semenjak dibuat sistem perundang-undangannya yang menguntungkan penguasa Orba. Diikuti dengan kecurangan-kecurangan secara teknis di lapangan, sampai dengan penghitungan suara yang dilakukan oleh lembaga pemilihan umum yang tidak bisa dikoreksi oleh partai-partai lain. Yang terjadi sekarang ini sebetulnya tidak jauh berbeda. Konspirasi dari partai-partai di Senayan, telah membuat peraturan yang merugikan partai-partai kecil ataupun partai-partai baru. Contohnya, Parliamentary Threshold yang diberlakukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum jelas-jelas membunuh kedaulatan rakyat dan anti demokrasi. Jadi semangat kecurangan itu masih tetap ada, tidak bergeser semenjak Orba. Belum lagi ditambah dengan urusan2 teknis di lapangan yang sangat merugikan partai-partai kecil dan partai-partai baru. Jadi tetap saja permasalahan pokok yaitu “kecurangan” tidak terpecahkan dalam sistem pemilu yang seolah-seolah sudah demokratis dan mahal ini.

Sebetulnya banyak hal yang terjadi karena euphoria paska reformasi yang tidak terkendali menyebabkan bangsa kita ini salah mengartikulasikan makna sistem berdemokrasi yang cocok dengan Indonesia, yang cocok dengan kultur Indonesia dan juga kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Masyarakat kita yang masih pas-pasan disuruh mengadopsi sistem Amerika yang masyarakatnya sudah makmur. Padahal di Amerika sendiri, sistem pemilu yang selangsung-langsungnya seperti di Indonesia, diterapkan secara terbatas. Sistem pemilu presiden itu tidak pemilu langsung atau one man one vote, tetapi melalui sistem memilih delegasi yang tersebar di negara-negara bagian; sistem electoral college bukan popular vote. Pemilu di Amerika itu yang benar-benar langsung adalah memilih gubernur negara bagian dan walikota-walikota.

Ada satu hal lagi yang sama sekali tidak adil untuk partai-partai politik. Parpol itu adalah merupakan cikal bakal dari lembaga-lembaga pemerintahan, tetapi sama sekali tidak dibiayai oleh negara. Ibaratnya sebagai sapi penarik pedati yang harus mengantar barang yang berat sampai tujuan, tetapi harus mencari makanannya sendiri.


Roy B.B. Janis

PEMILU 2009, PEMILU MATREALISTIS

Waktu Pemilu 1992, saat saya masih di partai PDI, dengan sistem pemilu yang ada itu, partai bekerja untuk memenangkan pemilu. Semua caleg bersatu padu bersama dengan seluruh pengurus, simpatisan, dan kader partai, untuk memenangkan partainya. Semangat ini masih terasa sampai Pemilu 2004. Tetapi pemilu 2009 ini semangat tersebut telah berubah menjadi pemilu yang sangat matrealistis. Semua caleg disuruh berlomba-lomba berkampanye untuk dirinya pribadi, dan mengeluarkan uang darimanapun sumbernya dengan segala cara. Hal ini akan mendorong kenyataan bahwa caleg-caleg yang punya uang saja yang bisa berkampanye, sementara itu caleg-caleg yang kualitasnya lebih baik, tapi tidak punya uang akan tertutup peluangnya, atau semakin kecil peluangnya.


Roy B.B. Janis

Selasa, Februari 03, 2009

Tuhan Juga Maha Demokratis

Tuhan itu tidak hanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tetapi juga Maha Demokratis, karena itu Tuhan menciptakan surga dan neraka, dan manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuhnya.



Roy B.B. Janis