Selasa, Januari 27, 2009

Berpolitik itu harus sabar

Berpolitik itu harus sabar. Salah satu contohnya dengan tidak memikirkan nomor urut, sekarang siapa yang menyangka kalau sistemnya berubah menjadi suara terbanyak, sehingga nomor urut tidak ada pengaruhnya lagi.

Pada waktu tahun 1992, waktu partainya masih PDI, saya dicalonkan menjadi anggota legislatif dapil Jawa Timur nomor urutnya 16. Waktu itu PDI hanya dapat 10 kursi di dapil Jawa Timur, saya sama sekali tidak pernah mempermasalahkan nomor urut saya, padahal kontribusi saya dibandingkan dengan calon-calon lain tidak kalah dan bahkan cukup besar untuk ukuran saat itu. Tapi nasib menentukan lain, saya jadi anggota MPR RI periode 1992-1997.

Begitu juga pada tahun 1994, pada saat saya terpilih menjadi pengurus DPD PDI DKI, saya hanya terpilih sebagai wakil bendahara di nomor urut terbawah. Tapi sejarah menentukan lain, dengan bermodalkan jabatan wakil bendahara terbawah tersebut, saya bisa terpilih menjadi ketua DPD PDI-P DKI Jakarta, karena hampir seluruh pengurus DPD PDI pada saat itu bergabung dengan PDI Kongres Medan.

Saya ini seorang nasionalis, tidak pernah membedakan seseorang dari latar belakang agama, suku, dan ras. Dalam penentuan calon legislatif yang kita pakai adalah rasionalitas politik bukan masalah agama, suku dan ras.

Kita menjadi pemimpin partai bukan untuk gagah-gagahan atau untuk dibanding-bandingkan dengan orang-orang di partai lain. Kalau mau dibandingkan dengan kondisi saya, sebagai pendiri PDI-P orang-orang yang sekarang duduk menjadi pimpinan teras di partai tersebut banyak yang dilantik oleh saya selaku Ketua DPD DKI pada saat itu. Tapi saya tidak merasa kecil hati pada saat berhenti dari PDI-P dan membentuk Gerakan Pembaruan, dan bahkan mundur dari DPR. Hal ini bisa saya lakukan, karena saya berpolitik bukan hanya dengan logika, tetapi juga dengan hati nurani, selebihnya anda bisa melihat sendiri bagaimana perkembangan kita saat ini, dan saya tetap berjuang dengan penuh optimisme.

Saya sangat mengharapkan loyalitas bukan kepada diri saya pribadi, tetapi marilah berjuang bersama-sama saya karena ide perjuangan kita sama; yaitu itu ingin mengadakan pembaruan sistem berdemokrasi di dalam partai politik dan juga ingin memperbaiki nasib bangsa ini, yang sedang terpuruk di segala bidang.


Roy B.B. Janis

Senin, Januari 26, 2009

Berpolitik Harus Dengan Hati Nurani

Berpolitik itu tidak melulu dengan logika, tetapi juga harus diimbangi dengan hati nurani.


Roy B.B. Janis

Prinsip-Prinsip Dalam Berpolitik Tidak Boleh Berubah

Berpolitik itu penuh dengan ketidakpastian, tetapi yang harus pasti dan tidak boleh berubah adalah prinsip-prinsip kita dalam berpolitik.



Roy B.B. Janis

Era Mega Selesai, Saatnya Beri Kesempatan Sultan HB X

JAKARTA, SENIN - Ketua Plh Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) H Roy BB Janis mengatakan kini saatnya Megawati Soekarnoputri membalas budi atas jasa-jasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan memberikan posisi Capres PDIP kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X.

"Saatnya Megawati membalas budi dan dengan jiwa besar memberikan kesempatan Sultan menjadi presiden, mengingat histori hubungan Bung Karno dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, di masa memperjuangkan kemerdekaan RI," ujar H Roy Janis ketika dihubungi Persda, Senin (26/1).

Menurut Roy, kalau bukan karena jiwa besar Sultan Hamengku Buwono IX yang merelakan ibukota negara pindah ke Yogyakarta, maka duet kepemimpinan Sukarno-Hatta waktu itu bisa saja berakhir. Kalau bukan karena berjiwa kenegarawanan maka bisa saja Sultan mengambil alih kekuasaan, namun itu tidak dilakukannya.

"Jadi saatnya Megawati harus berjiwa negarawan juga seperti yang ditunjukkan Sultan Hamengku Buwono IX kepada Sukarno," tegasnya.

Bagi Roy yang pernah jadi Ketua Fraksi PDIP DPR RI mengatakan, era Mega sudah selesai dan saatnya memberi kesempatan kepada Sultan Hamengku Buwono X untuk memimpin negara ini.

"Harus disadari parpol itu bukan milik pribadi, tapi sebagai alat perjuangan. Kalau Mega yakin dengan Sultan maka dia harus rela posisi capres diberikan kepada Sultan dan mencari cawapres pendamping Sultan dari luar Jawa," ujarnya.

Ditanya apakah Mega akan rela memberikan posisi capres kepada Sultan, bagi Roy yang mantan petinggi di PDIP itu mengatakan, Mega akan rugi sendiri karena Mega sudah sulit untuk dijadikan pemimpin, sementara Sultan sangat diharapkan orang banyak tapi kendalanya belum dapat partai sebagai kendaraan politiknya.

"Mega sebaiknya jadi king maker saja, nggak usah ikut nyapres, tapi mencalonkan Sultan sebagai capres PDIP. Mega harus legowo," ujar Roy.

Sumber: "http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/26/1758526/eramegaselesaisaatnyaberikesempatansultanhbx"

Rabu, Januari 21, 2009

Bukan Hanya Memilih Figur Pribadi Calon Presiden

Orientasi terhadap figur di Indonesia adalah pemikiran yang cenderung pada pola paternalistik, dan bahkan lebih jauh lagi sering terjebak pada feodalisme. Berbeda dengan di Amerika yang demokrasinya sudah tumbuh secara murni berdasarkan prinsip egalitarian.

Indonesia sudah 63 tahun merdeka tetapi tidak pernah stabil pemerintahannya karena tergantung kepada figur pribadi para presiden-nya: Presiden tidak lagi berfungsi sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara, melainkan diperlakukan sebagai seorang raja.

Oleh sebab itu kepemimpinan Indonesia mendatang tidak boleh lagi tergantung kepada figur, tetapi kepada sistem ataupun teamwork. Jadi, apabila nanti ada calon presiden, maka dia tidak boleh hanya sendiri, sudah harus diketahui siapa wakil presiden dan siapa anggota kabinet intinya.

Mengusung capres dan cawapres yang demikian dalam pemilu sesuai dengan UUD '45, pasal 6a ayat (1) dan (2), dan menteri-menteri yang ada bukan merupakan hasil politik "dagang sapi" antara partai-partai politik. Kabinet yang demikian itu namanya "shadow cabinet" dimana Obama sebelum terpilih juga sudah punya "shadow cabinet".

Sudah terbukti calon presiden yang hanya maju sendiri tidak dapat menjalankan program kerjanya dengan baik. Karena itu rakyat harus memilih presiden bukan karena figur pribadi, melainkan yang harus dipilih adalah presiden lengkap dengan wakil presiden beserta tim kabinet intinya.


Roy B.B. Janis

Kesejahteraan Rakyat: Mari Rebut Kembali!

Mereka yang mengeksploitasi SDA negara kita mempunyai kontrak kerjasama jangka panjang puluhan tahun dengan Pemerintah RI saat itu, namun harus diingat bahwa kontrak tersebut bukan hanya masalah hukum, tetapi juga menyangkut masalah politik, dan posisi tawar negara kita.

Kini kita punya hubungan timbal balik dengan setiap negara yang punya hubungan kerjasama dengan kita, ini dapat dijadikan sebagai entry point untuk melakukan re-negosiasi. Apalagi kalau dalam kontrak tersebut terbukti ada unsur-unsur KKN yang merugikan negara. Contoh paling mutakhir adalah Kasus Gas Tangguh: Karena ditemukan adanya unsur-unsur yg merugikan negara, dan nilainya yg tidak wajar, kemungkinan peninjauan kembali kontrak tersebut sudah sangat terbuka (antara pihak Indonesia dan PRC).

Pandangan ini bukan merupakan jualan politik, melainkan kenyataan yang harus kita perjuangkan, sesuai dengan amanat UUD '45 pasal 33(3), " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Sehingga konsep baru untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, sudah tidak diperlukan lagi. Kita tidak membutuhkan konsep lagi, karena semuanya sudah jelas tercantum didalam UUD '45 dan Peraturan Perundang-undangan lain. Yang kita butuhkan adalah perbuatan dan keberanian untuk berpihak kepada rakyat dalam bentuk nyata. Contohnya kalau terjadi benturan kepentingan antara penguasa dan rakyat, kita tidak boleh berpikir panjang untuk tetap berpihak kepada kepentingan rakyat.

MARI REBUT KEMBALI hak rakyat untuk hidup sejahtera, sebagaimana cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena pada hakekatnya kemerdekaan Indonesia adalah untuk seluruh rakyat bukan untuk orang perorang


Roy B.B. Janis

Pilkada dan Kerusuhan

Kerusuhan dalam Pilkada sebetulnya terjadi karena tidak ada sifat negarawan, dan sayangnya hal itu dimulai dari tingkat nasional. Ada presiden yang kalah pemilu, tapi mengatakan bahwa dia tidak kalah melainkan hanya kurang suara, bahkan tidak mau menghadiri pelantikan dari presiden terpilih. Hal tersebut merupakan pendidikan politik yg buruk bagi bangsa kita, dan otomatis akan ditiru di-level yang lebih bawah.

Sebagai contoh di US, waktu Al gore kalah oleh Bush, sebetulnya secara "popular votes" Al gore telah menang, ttp karena US menganut sistem "electoral college", dan Bush memenangkannya, Al gore harus menerima dan dengan besar hati mengakui kekalahannya. Keteladanan seperti itu yg harus kita tumbuhkembangkan di Indonesia. Hal paling penting yang kita butuhkan adalah mental dari para penyelenggara negara tersebut


Roy B.B. Janis

Jumat, Januari 16, 2009

Wapres: Pendamping atau Pesaing?

Di dalam sejarah ketatanegaraan di negara kita telah terjadi beberapa kali pergantian wakil presiden, dimulai dari zaman Dwitunggal Soekarno-Hatta, kemudian zaman orde baru berturut-turut yang menjadi wakil presiden adalah Sri Suktan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, dan B.J. Habibie. Setelah itu di era reformasi ada Megawati dan Hamzah Haz, serta Jusuf Kalla yang dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilu tahun 2004.

Pada masa Dwitunggal Soekarno-Hatta, kedudukan wakil presiden memunyai ciri tersendiri dibanding dengan kedudukan wakil presiden pada masa orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Malahan pada masa orde baru ada semacam ungkapan sinis terhadap kedudukan wakil presiden yaitu istilah "ban serep". Walaupun ungkapan ini cenderung bernada sinisme politis, namun perlu juga disimak makna intinya, apakah benar demikian kedudukan dan fungsi dari wakil presiden itu sendiri?


(Dikutip dari buku "Wapres: Pendamping atau Pesaing" karya Roy B.B. Janis, diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer - Grup Gramedia pada Bulan Juni 2008)

Selasa, Januari 13, 2009

Roy Janis Lawan Megawati

ROY JANIS LAWAN MEGAWATI
Oleh Tjipta Lesmana

Fenomena politik yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setelah Kongres II di Bali menarik untuk disimak. Fenomena itu adalah (a) tampilnya Roy BB Janis sebagai pemimpin Gerakan Pembaharuan PDIP; (b) semakin sengitnya perseteruan antara Roy dan Megawati, masing-masing mengeluarkan ancaman untuk memecat lawannya, dan (c) terjadinya aliansi antara Roy-Arifin Panigoro-Laksamana Sukardi.

Tidak banyak orang yang tahu Roy BB Janis dan Megawati pada awalnya berteman dekat sekali. Mereka sesungguhnya kawan seperjuangan tatkala masih bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era Soeharto. Ketika itu sudah ada tanda-tanda PDI bakal "mbalelo" terhadap kekuasaan Soeharto. Menjelang Sidang Umum MPR 1993 "kelompok radikal" PDI tiba-tiba mengeluarkan pernyataan terbuka yang intinya supaya Soeharto tidak dipilih kembali sebagai Presiden.
Tidak banyak media yang berani memuat pernyataan ini, mengingat situasi politik waktu itu. Pernyataan itulah yang menjadi faktor utama kenapa Megawati kemudian "diinjak-injak" oleh kekuasaan Soeharto hingga klimaksnya pada 27 Juli 1996. Megawati dipandang sangat berbahaya yang ingin menggulingkan Soeharto.

"Kelompok radikal" PDI terdiri atas sekitar 10 anggota, antara lain Megawati, Roy Janis, Laksamana Sukardi, Sophan Sophiaan, dan Tarto Sudiro. Mereka semua anggota MPR. Mereka sering mengadakan "rapat gelap" di lokasi yang berpindah-pindah untuk membahas situasi negara. Dalam rapat-rapat, Megawati selalu menolak tampil ke depan, walaupun dibujuk-bujuk oleh rekan-rekannya.

Sebuah sumber mengatakan wawasan politik Mega ketika itu masih tergolong "hijau", ngomong pun belum berani, apalagi memimpin rapat. Dia lebih banyak diam dalam rapat-rapat dan lebih suka menyuruh Roy dan Tarto Sudiro memimpin rapat. Hampir semua anggota kelompok itu diam-diam sudah sepakat untuk mendorong Mega tampil memimpin "PDI baru", menggusur Soerjadi yang dinilai sudah terkooptasi pada kekuasaan Soeharto.

Kacang Lupa Kulitnya

Perjuangan "kelompok radikal" semakin sengit ketika aparat keamanan semakin keras menekan mereka. Setelah melalui perjuangan panjang, bahkan nyaris terancam nyawa, Megawati akhirnya berhasil diusung sebagai Ketua Umum PDI, nama partai pun berubah menjadi PDIP.

Kawan-kawan Mega, khususnya Roy, rupanya berpendapat mereka punya andil sangat besar dalam mengusung Mega ke kursi pimpinan tertinggi PDIP yang akhirnya membawa dirinya ke kursi Presiden. Tapi, di mata mereka, Mega ibarat "kacang yang melupakan kulitnya".

Sejak menduduki jabatan Wakil Presiden, Mega dikabarkan mulai menjaga jarak dengan mereka. Untuk bertemu di kantornya pun, yaitu Istana Wakil Presiden, tidak bisa. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, orang-orang kepercayaannya langsung diberikan tanda "pass khusus" sehingga mereka bisa keluar masuk Istana dengan bebas. Tapi, hal serupa tidak berlaku untuk Megawati.

Ketika Mega akhirnya menjadi Presiden, komunikasi bertambah sulit dan bertambah formal. Satu-satunya forum untuk berinteraksi hanyalah "forum Selasaan", yaitu rapat DPP di Lenteng Agung setiap hari Selasa.

Sejumlah kader partai - seperti Roy, Arifin dan Kwik Kian Gie - tidak suka melihat perilaku Ir Soetjipto yang suka menjilat. Dalam pemilihan umum (Pemilu) 1999, PDIP menang di Pulau Jawa (termasuk Jawa Barat di mana Golkar sangat kuat), Bali, Sumatera dan Lampung, kecuali Jawa Timur yang kalah satu kursi dari PKB. Ketika itu, Soetjipto Ketua DPD PDIP Jawa Timur. Di DKI Jakarta, PDIP menduduki peringkat I, menyabet 30 kursi DPRD. Roy-lah yang menjabat Ketua PDIP Jakarta.

Tahun 1999 MPR menggelar Sidang Umum, Tjipto diangkat Ketua Fraksi MPR, sedang Herry Achmadi Sekretarisnya. Lagi-lagi ia gagal mengusung Mega ke kursi Presiden. Pemilu tahun 2004, PDIP kalah memalukan. Ironisnya, Tjipto juga yang dipercayakan Megawati sebagai Ketua Tim Pemenangan Pemilu, dan Herry Achmadi sebagai Sekretaris. Dalam Kongres II yang baru lalu, Tjipto memang tidak lagi dipasang sebagai Sekjen, tapi Mega tetap mengangkatnya sebagai salah satu Ketua. Pramono dijadikan Sekjen.

Kelemahan Mega dalam memimpin partai, kata sebuah sumber, ia tidak menerapkan "merit system". Orang yang berjasa pada partai tidak pernah diberikan rewards. Sebaliknya, orang yang gagal tidak pernah diberikan punishment, malah tetap dipercaya untuk menduduki posisi-posisi kunci. Tapi, yang paling menjengkelkan kader-kader eks kawan seperjuangan Mega ialah intervensi kuat Taufik Kiemas (TK) dalam kehidupan partai.

TK - melalui beberapa fungsionaris partai - kata mereka, selalu campur tangan dalam pemilihan kepala daerah, khususnya pemilihan gubernur karena kepentingan-kepentingan sempit. Tapi, ironisnya, di hampir semua daerah di mana mereka "bermain", calon PDIP kalah. Ini membuat massa PDIP marah.

"Point of no Return"

Setelah Kongres II, perseteruan antara Roy dan Mega berambah sengit dan mencapai tahap point of no return. Roy mungkin menganggap kepalang basah. Dia tahu persis siapa itu Megawati sebenarnya. Dia tahu persis apa "modal perjuangan" Mega pada tahap awal. Maka, ia tidak pernah takut. Menurut saya, jika Megawati nekad memecat Roy dkk., ini merupakan tindakan set-back dan akan menampar mukanya sendiri. Sebab kelompok Gerakan Pembaharuan PDIP cukup mengakar dan mempunyai pendukung besar di akar rumput.

Yang mengherankan ialah bergabungnya trio Roy-Arifin-Laksamana. Roy dan Arifin semula tidak sejalan. Dua tahun lalu sudah muncul dua kubu dalam PDIP, masing masing "kubu Jenggala" (Arifin) dan "kubu Tirtayasa" (Roy cs). Kelompok Jenggala dituduh hendak menggulingkan Mega, sedang kelompok Tirtayasa membela Mega. Kenapa sekarang Roy dan Arifin bisa bersatu? Itu pertanda, keduanya melihat PDIP dalam status "lampu merah" setelah Mega dipilih kembali sebagai Ketua Umum.

Laksamana Sukardi semula juga dikenal "orang Mega". Ia dekat dengan Ketua Umum, dekat dengan TK. Laks sering disebut-sebut salah satu "kasir PDIP" dalam Pemilu 2004. Orang seperti Laks, akhirnya pecah kongsi juga dengan Mega. Lalu, ke mana Kwik Kian Gie? Dalam kepengurusan Gerakan Pembaharuan PDIP, kita tidak membaca nama Kwik. Kenapa dia tidak bergabung dengan Roy-Arifin-Laksamana?

Perseteruannya dengan Laksamana, mungkin menjadi salah satu ganjelan Kwik untuk bergabung. Ketika menjabat Menteri Negara BUMN, kebijakan-kebijakan Laksamana sering dikecam Kwik sebagai Ketua Bappenas. Kwik yang berkata tanpa tedeng aling-aling bahwa PDIP merupakan partai yang paling korup. Megawati pusing menghadapi gerakan itu, sebab ia tahu yang bergabung dalam gerakan itu bukanlah sembarang kader. Mereka punya massa. Maka, PDIP terancam pecah, dan parah sekali perpecahannya!

Penulis adalah Pengajar FISIP Universitas Pelita Harapan.

-Sebagaimana dimuat dalam SINAR HARAPAN 14 April 2005-

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/14/opi02.html

Kasus 27 Juli: MEGAWATI DISEBUTKAN TAHU RENCANA PENYERBUAN ITU

Kasus 27 Juli
Megawati Disebutkan Tahu Rencana Penyerbuan Itu...

Megawati mengetahui


Jatuhnya korban dalam peristiwa 27 Juli 1996 sebenarnya juga bisa dicegah apabila Megawati selaku Ketua Umum PDI menghendakinya. Karena, pada halaman 150, Tambunan menegaskan, Beberapa hari sebelumnya Megawati memberitahu para pimpinan Satgas, bahwa akan terjadi pengambilalihan paksa. Megawati menerima informasi itu dari seorang pejabat tinggi militer.

Pemaparan Tambunan (RO Tambunan) itu sejalan dengan pengakuan mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI DKI Jakarta Roy BB Janis. Saat memberikan testimoni pada peluncuran buku itu (buku RO Tambunan "Membela Demokrasi"), dia mengakui ditunjuk oleh Megawati sebagai penanggung jawab keamanan kantor DPP PDI. "Saya dua hari sebelumnya diberi tahu Ibu Megawati, akan ada penyerbuan ke kantor. Karena itu, penjagaan ditingkatkan," ujarnya. Dengan peringatan itu, dia selalu berjaga-jaga di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, hingga tanggal 27 Juli 1996 dini hari. Ia juga sempat berbincang-bincang dengan sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob), yang kala itu berjaga-jaga di sekitar Cikini. Ia meninggalkan kantor DPP PDI sekitar pukul 05.00.

"Saya pulang karena rasanya tidak mungkin ada pengambilalihan paksa pada pagi itu. Selain sudah pagi, masyarakat sudah beraktivitas, dan jalanan di depan kantor DPP PDI sangat ramai. Jadi, dalam pemikiran saya, tak mungkin ada penyerbuan itu," tutur mantan Ketua Fraksi PDI-P DPR itu. Akan tetapi, baru tiba di rumah, Roy mengakui ditelepon Megawati yang memberitahukan kantor DPP PDI diserbu massa. "Saya langsung kembali ke kantor DPP PDI," kata dia lagi.

Menurut Roy, sebenarnya sebagai Ketua Umum PDI, Megawati bisa menghindari jatuhnya korban dalam peristiwa 27 Juli itu apabila memerintahkan satgas dan massa meninggalkan lokasi itu. Karena, tidak mungkin mereka menghadapi "serbuan" aparat. Akan tetapi, Megawati ternyata lebih menitikberatkan pilihan politik daripada pilihan kemanusiaan.

Buku Membela Demokrasi juga menjadi tempat ungkapan kekecewaan Tambunan kepada Megawati. Pada halaman 172, ia menyatakan, Megawati tak sungguh-sungguh menegakkan kebenaran dan keadilan dalam peristiwa 27 Juli. Cukuplah orang sipil yang diadili dalam kasus itu. Bahkan, Megawati berusaha memberikan uang kepada Kelompok 124, korban serbuan ke kantor DPP PDI yang diadili, agar mereka tidak terus-menerus menuntut kelompok ABRI untuk diadili.

Roy Janis melalui komentarnya pada halaman 374 buku itu juga menuliskan, Mengenai penyelesaian kasus 27 Juli yang sempat dibuka lagi di DPR pada 2003, tetapi kemudian hilang begitu saja sampai sekarang, disebabkan juga karena sikap Mega sendiri yang tidak mempunyai untuk menyelesaikan kasus ini. Salah satu contohnya, Mega memilih gubernur yang terlibat langsung kasus 27 Juli. Mega sudah mengampuni pelaku....

Roy Janis "menunjuk" Sutiyoso, yang pada saat kasus 27 Juli terjadi, menjabat Panglima Kodam Jaya. Tahun 2002, Megawati merestui Sutiyoso menjadi calon gubernur DKI Jakarta untuk yang kedua kalinya. "Saat itu saya sempat bertemu dengan Pak Sutjipto (Sekjen PDI-P). Saya diminta menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta, mendampingi Sutiyoso. Rekomendasi DPP PDI-P sudah ada. Tetapi, saya tidak mau," ungkap Roy.

Tambunan juga menuliskan di halaman 163 bukunya, dia tahun 2002 ditelepon Sutiyoso dan diajak bertemu. Dalam pertemuan di kantor Gubernur DKI Jakarta, RO Tambunan diminta mendukung pencalonan kembali Sutiyoso. Tambunan tak memberikan jawaban. Namun, di surat kabar, Sutiyoso membantah telah bertemu Tambunan.

Dalam buku setebal 396 halaman itu, Tambunan juga menyebutkan sejumlah nama yang diduga terlibat kasus 27 Juli, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Sudi Silalahi, yang proses hukumnya belum tuntas. Ia memang melontarkan sangkaan, yang diyakininya sebagai fakta dan sejarah. Tinggal kini menunggu jawaban dari mereka yang disebutkan itu melalui buku sehingga ada obyektivitas sejarah bagi generasi berikut

Jumat, Januari 02, 2009

"Money Politics" dan Korupsi Saudara Sekandung

Money Politics adalah menggalang dukungan untuk mendapatkan suara pemilih dengan iming-iming uang.

Uang yang dibagi tersebut jumlahnya sangat besar, bisa berjuta-juta bahkan milyar-an atau lebih. Uang tersebut kemungkinan besar didapat dari sponsor ataupun dari sumber lain yang tidak wajar.

Apabila yang bersangkutan memenangkan pemilihan tersebut, hal pertama yang dilakukan olehnya adalah mengembalikan dana-dana yang berjumlah besar tadi. Tidak mungkin dana tersebut bisa dibayar kembali dengan gaji atau pendapatan resmi lainnya sebagai pejabat negara.

Telah dapat dipastikan dana tersebut didapatkan dari hasil komersialisasi jabatan, atau dengan kata lain korupsi.

Oleh sebab itu, dalam setiap pemilihan jangan memilih calon yang melakukan "money politics", karena ujung-ujungnya akan mendorong korupsi.

Memilih calon yang melakukan "money politics" sama dengan masuk ke dalam "Vicious Circle of Corruption"


Roy B.B. Janis

MARI REBUT KEMBALI!

MARI REBUT KEMBALI maknanya adalah, rakyat harus bisa merebut kembali hak-haknya yang selama ini dirampas oleh penguasa melalui KKN.

Bayangkan, negara kita ini SDA-nya selama 63 tahun merdeka khususnya di era ORBA dieksploitasi bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk kepentingan penguasa dan kroninya, serta konglomerat hitam, sementara rakyat hidupnya semakin menderita.

Jadi, makna MARI REBUT KEMBALI, adalah mengembalikan hak rakyat untuk hidup sejahtera sebagaimana cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena pada hakekatnya kemerdekaan Indonesia adalah untuk seluruh rakyat, bukan untuk orang perorang.


Roy B.B. Janis