Sabtu, Maret 21, 2009

PDP MENANG!

Banyak yang bertanya kepada saya, apa yang akan dilakukan oleh PDP kalau PDP menang. Sebenarnya pertanyaan ini sering tercampur, antara menang legislatif dan menang dalam pencalonan Presiden. Walaupun hingga saat ini PDP belum mempunyai calon Presiden yang definitif, karena itu baru akan terjadi setelah mengetahui hasil Pemilu Legislatif.

Ya, tapi asumsikan saja PDP menang baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden. Yang akan dilakukan tentunya bukan hal yang muluk-muluk dulu. Kita akan mulai dengan:

100 hari pertama pada saat PDP menang, Rescue Program (Program Penyelamatan), yaitu:

Pertama menolong mereka-mereka yang sedang terancam bahaya kelaparan, tidak bisa makan selayaknya manusia normal. Mereka ini harus didahulukan, supaya mereka bisa hidup dan makan 3 kali sehari. Karena saat ini hampir di seluruh propinsi tidak terkecuali, bahkan di kota-kota besar pun kita sering menjumpai orang yang makannya hanya satu kali sehari, sampai terpaksa harus ada korban jiwa karena tidak mampu mendapatkan makanan, bagi keberlangsungan hidupnya. Orang-orang seperti inilah yang harus kita tolong dulu, supaya mereka terhindar dari bahaya kelaparan. Kenapa mereka harus ditolong dulu? Karena orang lapar tidak bisa menunggu. Menunggu satu hari saja untuk orang yang kelaparan dapat terancam jiwanya.

Kedua, menolong mereka yang terancam jiwanya karena sakit dan tidak bisa berobat, karena tidak punya kemampuan untuk itu. Seperti halnya orang kelaparan, orang sakit pun tidak bisa menunggu lama untuk diselamatkan.

Setelah permasalahan ini bisa kita atasi, barulah kita akan menolong 6 kelompok besar yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia.

1. Petani
Petani harus tetap dapat menanam padi dan tanaman pangan lainnya tanpa terbebani oleh kelangkaan pupuk dan sarana penunjang lainnya, serta harus terjamin akan adanya stabilitas harga. Stabilitas harga yang dapat mendukung tingkat kesejahteraan dari petani. Karena isu sembako murah yang dikampanyekan oleh partai-partai politik tertentu itu jelas-jelas sangat merugikan petani. Artinya harga beras harus murah, harga gula harus murah, harga cabai harus murah, harga bawang harus murah, dstnya. Akibatnya petani akan terus menjadi korban, tidak bisa menjual produksinya dengan harga yang layak.

Kenapa petani harus kita selamatkan paling dahulu? Karena petani-lah yang memberi makan kita semua dengan hasil produksi pertaniannya. Kalau petani terganggu produksinya, artinya sumber pangan kita pun menjadi terganggu. Kalau kita mencoba mengimpor seluruh hasil pangan kita, maka negara kita akan bangkrut dalam beberapa bulan saja.

Oleh karena itu swasembada pangan harus terwujud, dengan harga pangan yang dapat tetap menaikan kesejahteraan petani. Bukan sembako murah yang harus kita jadikan sebagai target, melainkan peningkatan pendapatan masyarakat Indonesia yang harus diperjuangkan. Sembako murah tapi tidak bisa dibeli, karena tidak punya uang ,sama saja dengan mengiming-imingi orang dengan hal yang tidak rasional.

Harga sembako yang membuat petani sejahtera dan terjangkau oleh daya beli masyarakat karena masyarakatnya punya daya beli yang memadai, itulah yang harus jadi cita-cita partai politik kalau menang dalam Pemilu yang akan datang. Tugas kita adalah membuat kampanye yang tidak membodohi masyarakat, tetapi mencerdaskan mereka.

2. Nelayan
Nelayan dan petani fungsi dan perannya sebetulnya sama saja. Keduanya merupakan sumber penyedia pangan bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu nelayan tidak boleh mengalami hambatan dalam melaut untuk menangkap ikan. Prasarana perahu nelayan, ataupun kapal ikan yang mereka miliki harus bisa memaksimalkan hasil tangkapan mereka, apalagi semakin lama, ikan di perairan yang dekat pantai sudah semakin langka, baik karena pencurian ataupun polusi. Disamping itu hal-hal penunjang lainnya, seperti kelangkaan BBM bagi nelayan tidak boleh terjadi. Pencurian-pencurian ataupun illegal fishing harus benar-benar ditindak dengan tegas. Sarana-sarana penunjang seperti cold storage, dan lain-lainnya harus semakin diperbanyak dan ditingkatkan.

3. Kaum Buruh
Kaum buruh juga nasibnya harus diperhatikan, karena kaum buruh adalah orang-orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan sekunder kita. Pendapatan mereka harus bisa memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sekarang ini yang kita jadikan tolak ukur pendapatan adalah UMP, ini masih sangat jauh untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, apalagi bagi buruh-buruh di perkotaan. Seharusnya kita berjuang bagaimana supaya tolak ukur yang dipakai adalah kebutuhan fisik minimum. Dan juga dengan adanya krisis global dibidang ekonomi jumlah phk semakin meningkat, ini juga merupakan hal yang harus tetap kita perjuangkan, bagaimana mencegah terjadinya phk tersebut yang berdampak negatif bagi kelangsungan masa depan kaum buruh kita.

4. Pegawai Negeri Golongan Bawah, termasuk didalamnya para prajurit TNI dan POLRI, harus juga diperhatikan tingkat pendapatan mereka supaya dapat hidup yang layak. Bagaimana mereka bisa menjadi abdi bagi bangsa dan negara, dan bahkan tidak jarang mereka dituntut untuk berkorban jiwa dan raganya, sementara itu tingkat pendapatan mereka sangat rendah, dan keluarganya mengalami nasibnya yang tak menentu bagi masa
depannya.

5. Pelaku Usaha Kecil Menengah
Pelaku UKM juga harus mendapatkan dukungan yang memadai. Mereka juga merupakan penyedia kebutuhan primer dan sekunder bagi masyarakat, tetapi mereka mendapat perlakuan yang sangat diskriminatif, misalnya hingga saat ini pihak lembaga keuangan khususnya perbankan masih tetap memprioritaskan kredit permodalan bagi sektor usaha besar dan menengah, dengan komposisi 80% banding 20%. Padahal sektor UKM ini termasuk penyedia lapangan pekerjaan yang besar, juga termasuk punya daya tahan yang tinggi terhadap krisis ekonomi global. Disisi lain pun mereka sering dijadikan korban penggusuran oleh aparat penertiban di berbagai wilayah tanpa ada suatu solusi tempat di mana mereka bisa berdagang secara permanen.

6. Guru
Guru merupakan bagian daripada pencerdasan bangsa. Kita masih ingat di jaman penjajahan dulu guru merupakan profesi yang sangat terhormat. Terhormatnya profesi guru pada saat itu tidak terlepas dari income guru yang cukup tinggi pada saat itu. Sehingga posisi guru benar-benar berwibawa dan sangat dihormati. Para pendiri Republik Indonesia : dr. Soetomo, dr. Wahidin, Ki Hajar Dewantara, H. Agus Salim, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan masih banyak nama besar lainnya merupakan hasil pendidikan dari guru-guru yang berkualitas, disamping tentunya juga ditempa oleh suasana perjuangan pada saat itu. Pendapat ini dibenarkan oleh Alm. Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia bahwa pendidikan di jaman penjajahan, menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas, sementara itu setelah kita merdeka yang terjadi malah hal sebaliknya. Salah satu kunci utama keberhasilan pendidikan di jaman itu adalah adanya guru-guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas bisa terbentuk apabila tingkat kesejahteraan guru bisa semakin ditingkatkan.

Selanjutnya mengenai program-program yang menyangkut masalah moneter (permasalahan ekonomi lainnya; mempertahankan pertumbuhan tingkat ekonomi, dsbnya), APBN, penegakan hukum-termasuk didalamnya pemberantasan korupsi, penertiban lembaga-lembaga negara, dan aparatur pemerintahan-, masalah pertahanan keamanan dalam dan luar negeri, pembangunan prasarana fisik dengan prioritas tertentu, semua itu tentunya harus berjalan pararel dengan langkah-langkah yang disebutkan di atas, karena merupakan satu kesatuan tindakan yang tak dapat dipisahkan.



Roy B.B. Janis



Selasa, Maret 17, 2009

Orang Termiskin Ada di Jakarta

Orang Indonesia yang termiskin itu ternyata ada di Jakarta. Mereka itu hidup di daerah-daerah yang kumuh, di atas tanah dan rumah yang bukan milik mereka. Di tengah-tengah sampah, di tengah got yang mampet, dan nasib tidak menentu tanpa pemasukan yang jelas, dan sewaktu-waktu terancam oleh penggusuran. Kalau dibandingkan dengan orang miskin yang ada di pedesaan, walaupun miskin, setidaknya mereka masih memiliki rumah sederhana milik mereka sendiri atau keluarganya, dan makan pun masih bisa dari hasil kebun sendiri, atau paling tidak masih ada budaya gotong royong untuk saling membantu.

Seharusnya APBD yang lebih dari 20 triliyun itu jika 10%-nya saja digunakan untuk meningkatkan harkat hidup orang – orang miskin tersebutd-engan memperbaiki prasarana kehidupan mereka-pasti kemiskinan yang seperti itu tidak akan terjadi lagi.

Tugas dari pemerintah adalah untuk mengurusi rakyatnya, tujuan kita merdeka adalah supaya rakyat sejahtera. Sejahtera; punya sandang, pangan, dan papan yang cukup.

Jakarta ini bukan kota milik orang kaya saja, tetapi juga kota milik penghuni yang miskin. Pembangunan prasarana buat orang kaya, seharusnya sudah cukup, dan sudah waktunya dialihkan kepada pembangunan prasarana bagi warga Jakarta yang miskin.

Bagi warga Jakarta yang miskin; miskin itu bukan berarti harus kumuh, kotor, tidak hygienic, miskin itu harus dirubah menjadi layak hidup sebagai manusia dan sebagai warga negara.

Jadi sudah waktunya keberpihakan kepada rakyat miskin dilakukan lebih sungguh-sungguh oleh pemerintah.


Roy B.B. Janis

Kamis, Februari 26, 2009

SISTEM PEMILU 2009 PALING MAHAL DI DUNIA

Dulu orang bersemangat ikut pemilu karena adanya semangat perubahan. Yaitu semangat melawan rezim Orba yang sudah berkuasa terlalu lama, akibat penyelenggaraan pemilu yang curang; menghalalkan segala secara. Waktu itu walaupun rakyat diberi uang untuk memilih Golongan Karya, rakyat tetap tidak terpengaruh oleh money politics tersebut; uangnya diterima tapi mereka tetap berkampanye untuk 2 partai lainnya, PPP dan PDI.

Kondisi tersebut diatas berbeda dengan sekarang. Dikala itu menjadi caleg tidak harus punya uang banyak seperti sekarang. Namun, sistem yang sekarang ini menjadikan Pemilu sangat mahal. Menjadi mahal karena kita menjiplak sistem Pemilu dari Amerika tanpa melihat latar belakang sosial ekonomi kita yang jauh berbeda. Mestinya sistem pemilu itu harus pararel dengan sosial ekonomi daripada masyarakatnya. Negara kita ini penduduknya 230 juta jiwa dan terdiri dari sekian ribu pulau, wilayahnya terpisah-pisahkan oleh laut, menyebabkan sistem yang ada sekarang ini menjadi sangat mahal.

Sebetulnya sistem Pemilu di Era Orba itu tidak harus dihapuskan seluruhnya, melainkan kecurangan yang ada di sistem Pemilu Orba-lah yang harus dihilangkan. Berikutnya yang perlu diperbaiki adalah sistem perekruitmen calon legislatifnya, supaya prinsip-prinsip demokrasinya tidak hilang. Tetapi setelah reformasi yang terjadi adalah, ibarat sebuah rumah karena gentengnya bocor, bukan gentingnya yang diperbaiki tetapi malah rumahnya yang dibongkar. Atau ibarat sebuah lumbung padi, ada tikusnya bukan tikusnya yang dibasmi, tetapi lumbung padinya juga ikut dibakar.

Sebagai perbandingan di Jepang, di Eropa, ataupun negara-negara lain yang sudah maju pun tidak menganut system Pemilu yang selangsung-langsungnya. Perdana Menteri dipilih melalui parlemen, bandingkan dengan sistem kita dulu;capres, wapres, dipilih oleh MPR. Bupati, Gubernur, Walikota, dipilih oleh DPRD, anggota-anggota dewan dipilih dengan sistem proposional melalui daftar nama partai. Kita sekarang ini dengan bangganya mengatakan sistem pemilu kita yang paling demokratis di dunia. Padahal, sistem pemilu kita ini merupakan yang termahal juga di dunia, apalagi kalau dibandingkan dengan kemampuan anggaran dari negara. Negara yang sedang dalam keadaan ekonomi yang sulit ini harus mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk pemilu, dimulai dari legislatif, DPD, pemilu presiden, wapres, gubernur, wagub, walikota, sampai pemilu wakil walikota.

Mestinya semakin demokratis, semakin sejahtera juga rakyat kita. Kedemokratisan itu harus berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, tapi yang terjadi pemilu kita ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Seolah-olah kita demokratis, tapi nyatanya kesejahteraan rakyat malah dilupakan.

Kita semua lupa waktu kita mengkoreksi Orba, khususnya mengenai sistem pemilunya, hal yang paling menonjol yang kita “lawan” adalah kecurangannya bukan sistemnya. Kecurangan dari sistem pemilu Orba itu dimulai semenjak dibuat sistem perundang-undangannya yang menguntungkan penguasa Orba. Diikuti dengan kecurangan-kecurangan secara teknis di lapangan, sampai dengan penghitungan suara yang dilakukan oleh lembaga pemilihan umum yang tidak bisa dikoreksi oleh partai-partai lain. Yang terjadi sekarang ini sebetulnya tidak jauh berbeda. Konspirasi dari partai-partai di Senayan, telah membuat peraturan yang merugikan partai-partai kecil ataupun partai-partai baru. Contohnya, Parliamentary Threshold yang diberlakukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum jelas-jelas membunuh kedaulatan rakyat dan anti demokrasi. Jadi semangat kecurangan itu masih tetap ada, tidak bergeser semenjak Orba. Belum lagi ditambah dengan urusan2 teknis di lapangan yang sangat merugikan partai-partai kecil dan partai-partai baru. Jadi tetap saja permasalahan pokok yaitu “kecurangan” tidak terpecahkan dalam sistem pemilu yang seolah-seolah sudah demokratis dan mahal ini.

Sebetulnya banyak hal yang terjadi karena euphoria paska reformasi yang tidak terkendali menyebabkan bangsa kita ini salah mengartikulasikan makna sistem berdemokrasi yang cocok dengan Indonesia, yang cocok dengan kultur Indonesia dan juga kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Masyarakat kita yang masih pas-pasan disuruh mengadopsi sistem Amerika yang masyarakatnya sudah makmur. Padahal di Amerika sendiri, sistem pemilu yang selangsung-langsungnya seperti di Indonesia, diterapkan secara terbatas. Sistem pemilu presiden itu tidak pemilu langsung atau one man one vote, tetapi melalui sistem memilih delegasi yang tersebar di negara-negara bagian; sistem electoral college bukan popular vote. Pemilu di Amerika itu yang benar-benar langsung adalah memilih gubernur negara bagian dan walikota-walikota.

Ada satu hal lagi yang sama sekali tidak adil untuk partai-partai politik. Parpol itu adalah merupakan cikal bakal dari lembaga-lembaga pemerintahan, tetapi sama sekali tidak dibiayai oleh negara. Ibaratnya sebagai sapi penarik pedati yang harus mengantar barang yang berat sampai tujuan, tetapi harus mencari makanannya sendiri.


Roy B.B. Janis

PEMILU 2009, PEMILU MATREALISTIS

Waktu Pemilu 1992, saat saya masih di partai PDI, dengan sistem pemilu yang ada itu, partai bekerja untuk memenangkan pemilu. Semua caleg bersatu padu bersama dengan seluruh pengurus, simpatisan, dan kader partai, untuk memenangkan partainya. Semangat ini masih terasa sampai Pemilu 2004. Tetapi pemilu 2009 ini semangat tersebut telah berubah menjadi pemilu yang sangat matrealistis. Semua caleg disuruh berlomba-lomba berkampanye untuk dirinya pribadi, dan mengeluarkan uang darimanapun sumbernya dengan segala cara. Hal ini akan mendorong kenyataan bahwa caleg-caleg yang punya uang saja yang bisa berkampanye, sementara itu caleg-caleg yang kualitasnya lebih baik, tapi tidak punya uang akan tertutup peluangnya, atau semakin kecil peluangnya.


Roy B.B. Janis

Selasa, Februari 03, 2009

Tuhan Juga Maha Demokratis

Tuhan itu tidak hanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tetapi juga Maha Demokratis, karena itu Tuhan menciptakan surga dan neraka, dan manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuhnya.



Roy B.B. Janis

Selasa, Januari 27, 2009

Berpolitik itu harus sabar

Berpolitik itu harus sabar. Salah satu contohnya dengan tidak memikirkan nomor urut, sekarang siapa yang menyangka kalau sistemnya berubah menjadi suara terbanyak, sehingga nomor urut tidak ada pengaruhnya lagi.

Pada waktu tahun 1992, waktu partainya masih PDI, saya dicalonkan menjadi anggota legislatif dapil Jawa Timur nomor urutnya 16. Waktu itu PDI hanya dapat 10 kursi di dapil Jawa Timur, saya sama sekali tidak pernah mempermasalahkan nomor urut saya, padahal kontribusi saya dibandingkan dengan calon-calon lain tidak kalah dan bahkan cukup besar untuk ukuran saat itu. Tapi nasib menentukan lain, saya jadi anggota MPR RI periode 1992-1997.

Begitu juga pada tahun 1994, pada saat saya terpilih menjadi pengurus DPD PDI DKI, saya hanya terpilih sebagai wakil bendahara di nomor urut terbawah. Tapi sejarah menentukan lain, dengan bermodalkan jabatan wakil bendahara terbawah tersebut, saya bisa terpilih menjadi ketua DPD PDI-P DKI Jakarta, karena hampir seluruh pengurus DPD PDI pada saat itu bergabung dengan PDI Kongres Medan.

Saya ini seorang nasionalis, tidak pernah membedakan seseorang dari latar belakang agama, suku, dan ras. Dalam penentuan calon legislatif yang kita pakai adalah rasionalitas politik bukan masalah agama, suku dan ras.

Kita menjadi pemimpin partai bukan untuk gagah-gagahan atau untuk dibanding-bandingkan dengan orang-orang di partai lain. Kalau mau dibandingkan dengan kondisi saya, sebagai pendiri PDI-P orang-orang yang sekarang duduk menjadi pimpinan teras di partai tersebut banyak yang dilantik oleh saya selaku Ketua DPD DKI pada saat itu. Tapi saya tidak merasa kecil hati pada saat berhenti dari PDI-P dan membentuk Gerakan Pembaruan, dan bahkan mundur dari DPR. Hal ini bisa saya lakukan, karena saya berpolitik bukan hanya dengan logika, tetapi juga dengan hati nurani, selebihnya anda bisa melihat sendiri bagaimana perkembangan kita saat ini, dan saya tetap berjuang dengan penuh optimisme.

Saya sangat mengharapkan loyalitas bukan kepada diri saya pribadi, tetapi marilah berjuang bersama-sama saya karena ide perjuangan kita sama; yaitu itu ingin mengadakan pembaruan sistem berdemokrasi di dalam partai politik dan juga ingin memperbaiki nasib bangsa ini, yang sedang terpuruk di segala bidang.


Roy B.B. Janis

Senin, Januari 26, 2009

Berpolitik Harus Dengan Hati Nurani

Berpolitik itu tidak melulu dengan logika, tetapi juga harus diimbangi dengan hati nurani.


Roy B.B. Janis

Prinsip-Prinsip Dalam Berpolitik Tidak Boleh Berubah

Berpolitik itu penuh dengan ketidakpastian, tetapi yang harus pasti dan tidak boleh berubah adalah prinsip-prinsip kita dalam berpolitik.



Roy B.B. Janis

Era Mega Selesai, Saatnya Beri Kesempatan Sultan HB X

JAKARTA, SENIN - Ketua Plh Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) H Roy BB Janis mengatakan kini saatnya Megawati Soekarnoputri membalas budi atas jasa-jasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan memberikan posisi Capres PDIP kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X.

"Saatnya Megawati membalas budi dan dengan jiwa besar memberikan kesempatan Sultan menjadi presiden, mengingat histori hubungan Bung Karno dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, di masa memperjuangkan kemerdekaan RI," ujar H Roy Janis ketika dihubungi Persda, Senin (26/1).

Menurut Roy, kalau bukan karena jiwa besar Sultan Hamengku Buwono IX yang merelakan ibukota negara pindah ke Yogyakarta, maka duet kepemimpinan Sukarno-Hatta waktu itu bisa saja berakhir. Kalau bukan karena berjiwa kenegarawanan maka bisa saja Sultan mengambil alih kekuasaan, namun itu tidak dilakukannya.

"Jadi saatnya Megawati harus berjiwa negarawan juga seperti yang ditunjukkan Sultan Hamengku Buwono IX kepada Sukarno," tegasnya.

Bagi Roy yang pernah jadi Ketua Fraksi PDIP DPR RI mengatakan, era Mega sudah selesai dan saatnya memberi kesempatan kepada Sultan Hamengku Buwono X untuk memimpin negara ini.

"Harus disadari parpol itu bukan milik pribadi, tapi sebagai alat perjuangan. Kalau Mega yakin dengan Sultan maka dia harus rela posisi capres diberikan kepada Sultan dan mencari cawapres pendamping Sultan dari luar Jawa," ujarnya.

Ditanya apakah Mega akan rela memberikan posisi capres kepada Sultan, bagi Roy yang mantan petinggi di PDIP itu mengatakan, Mega akan rugi sendiri karena Mega sudah sulit untuk dijadikan pemimpin, sementara Sultan sangat diharapkan orang banyak tapi kendalanya belum dapat partai sebagai kendaraan politiknya.

"Mega sebaiknya jadi king maker saja, nggak usah ikut nyapres, tapi mencalonkan Sultan sebagai capres PDIP. Mega harus legowo," ujar Roy.

Sumber: "http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/26/1758526/eramegaselesaisaatnyaberikesempatansultanhbx"

Rabu, Januari 21, 2009

Bukan Hanya Memilih Figur Pribadi Calon Presiden

Orientasi terhadap figur di Indonesia adalah pemikiran yang cenderung pada pola paternalistik, dan bahkan lebih jauh lagi sering terjebak pada feodalisme. Berbeda dengan di Amerika yang demokrasinya sudah tumbuh secara murni berdasarkan prinsip egalitarian.

Indonesia sudah 63 tahun merdeka tetapi tidak pernah stabil pemerintahannya karena tergantung kepada figur pribadi para presiden-nya: Presiden tidak lagi berfungsi sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara, melainkan diperlakukan sebagai seorang raja.

Oleh sebab itu kepemimpinan Indonesia mendatang tidak boleh lagi tergantung kepada figur, tetapi kepada sistem ataupun teamwork. Jadi, apabila nanti ada calon presiden, maka dia tidak boleh hanya sendiri, sudah harus diketahui siapa wakil presiden dan siapa anggota kabinet intinya.

Mengusung capres dan cawapres yang demikian dalam pemilu sesuai dengan UUD '45, pasal 6a ayat (1) dan (2), dan menteri-menteri yang ada bukan merupakan hasil politik "dagang sapi" antara partai-partai politik. Kabinet yang demikian itu namanya "shadow cabinet" dimana Obama sebelum terpilih juga sudah punya "shadow cabinet".

Sudah terbukti calon presiden yang hanya maju sendiri tidak dapat menjalankan program kerjanya dengan baik. Karena itu rakyat harus memilih presiden bukan karena figur pribadi, melainkan yang harus dipilih adalah presiden lengkap dengan wakil presiden beserta tim kabinet intinya.


Roy B.B. Janis

Kesejahteraan Rakyat: Mari Rebut Kembali!

Mereka yang mengeksploitasi SDA negara kita mempunyai kontrak kerjasama jangka panjang puluhan tahun dengan Pemerintah RI saat itu, namun harus diingat bahwa kontrak tersebut bukan hanya masalah hukum, tetapi juga menyangkut masalah politik, dan posisi tawar negara kita.

Kini kita punya hubungan timbal balik dengan setiap negara yang punya hubungan kerjasama dengan kita, ini dapat dijadikan sebagai entry point untuk melakukan re-negosiasi. Apalagi kalau dalam kontrak tersebut terbukti ada unsur-unsur KKN yang merugikan negara. Contoh paling mutakhir adalah Kasus Gas Tangguh: Karena ditemukan adanya unsur-unsur yg merugikan negara, dan nilainya yg tidak wajar, kemungkinan peninjauan kembali kontrak tersebut sudah sangat terbuka (antara pihak Indonesia dan PRC).

Pandangan ini bukan merupakan jualan politik, melainkan kenyataan yang harus kita perjuangkan, sesuai dengan amanat UUD '45 pasal 33(3), " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Sehingga konsep baru untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, sudah tidak diperlukan lagi. Kita tidak membutuhkan konsep lagi, karena semuanya sudah jelas tercantum didalam UUD '45 dan Peraturan Perundang-undangan lain. Yang kita butuhkan adalah perbuatan dan keberanian untuk berpihak kepada rakyat dalam bentuk nyata. Contohnya kalau terjadi benturan kepentingan antara penguasa dan rakyat, kita tidak boleh berpikir panjang untuk tetap berpihak kepada kepentingan rakyat.

MARI REBUT KEMBALI hak rakyat untuk hidup sejahtera, sebagaimana cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena pada hakekatnya kemerdekaan Indonesia adalah untuk seluruh rakyat bukan untuk orang perorang


Roy B.B. Janis

Pilkada dan Kerusuhan

Kerusuhan dalam Pilkada sebetulnya terjadi karena tidak ada sifat negarawan, dan sayangnya hal itu dimulai dari tingkat nasional. Ada presiden yang kalah pemilu, tapi mengatakan bahwa dia tidak kalah melainkan hanya kurang suara, bahkan tidak mau menghadiri pelantikan dari presiden terpilih. Hal tersebut merupakan pendidikan politik yg buruk bagi bangsa kita, dan otomatis akan ditiru di-level yang lebih bawah.

Sebagai contoh di US, waktu Al gore kalah oleh Bush, sebetulnya secara "popular votes" Al gore telah menang, ttp karena US menganut sistem "electoral college", dan Bush memenangkannya, Al gore harus menerima dan dengan besar hati mengakui kekalahannya. Keteladanan seperti itu yg harus kita tumbuhkembangkan di Indonesia. Hal paling penting yang kita butuhkan adalah mental dari para penyelenggara negara tersebut


Roy B.B. Janis

Jumat, Januari 16, 2009

Wapres: Pendamping atau Pesaing?

Di dalam sejarah ketatanegaraan di negara kita telah terjadi beberapa kali pergantian wakil presiden, dimulai dari zaman Dwitunggal Soekarno-Hatta, kemudian zaman orde baru berturut-turut yang menjadi wakil presiden adalah Sri Suktan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, dan B.J. Habibie. Setelah itu di era reformasi ada Megawati dan Hamzah Haz, serta Jusuf Kalla yang dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilu tahun 2004.

Pada masa Dwitunggal Soekarno-Hatta, kedudukan wakil presiden memunyai ciri tersendiri dibanding dengan kedudukan wakil presiden pada masa orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Malahan pada masa orde baru ada semacam ungkapan sinis terhadap kedudukan wakil presiden yaitu istilah "ban serep". Walaupun ungkapan ini cenderung bernada sinisme politis, namun perlu juga disimak makna intinya, apakah benar demikian kedudukan dan fungsi dari wakil presiden itu sendiri?


(Dikutip dari buku "Wapres: Pendamping atau Pesaing" karya Roy B.B. Janis, diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer - Grup Gramedia pada Bulan Juni 2008)

Selasa, Januari 13, 2009

Roy Janis Lawan Megawati

ROY JANIS LAWAN MEGAWATI
Oleh Tjipta Lesmana

Fenomena politik yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setelah Kongres II di Bali menarik untuk disimak. Fenomena itu adalah (a) tampilnya Roy BB Janis sebagai pemimpin Gerakan Pembaharuan PDIP; (b) semakin sengitnya perseteruan antara Roy dan Megawati, masing-masing mengeluarkan ancaman untuk memecat lawannya, dan (c) terjadinya aliansi antara Roy-Arifin Panigoro-Laksamana Sukardi.

Tidak banyak orang yang tahu Roy BB Janis dan Megawati pada awalnya berteman dekat sekali. Mereka sesungguhnya kawan seperjuangan tatkala masih bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era Soeharto. Ketika itu sudah ada tanda-tanda PDI bakal "mbalelo" terhadap kekuasaan Soeharto. Menjelang Sidang Umum MPR 1993 "kelompok radikal" PDI tiba-tiba mengeluarkan pernyataan terbuka yang intinya supaya Soeharto tidak dipilih kembali sebagai Presiden.
Tidak banyak media yang berani memuat pernyataan ini, mengingat situasi politik waktu itu. Pernyataan itulah yang menjadi faktor utama kenapa Megawati kemudian "diinjak-injak" oleh kekuasaan Soeharto hingga klimaksnya pada 27 Juli 1996. Megawati dipandang sangat berbahaya yang ingin menggulingkan Soeharto.

"Kelompok radikal" PDI terdiri atas sekitar 10 anggota, antara lain Megawati, Roy Janis, Laksamana Sukardi, Sophan Sophiaan, dan Tarto Sudiro. Mereka semua anggota MPR. Mereka sering mengadakan "rapat gelap" di lokasi yang berpindah-pindah untuk membahas situasi negara. Dalam rapat-rapat, Megawati selalu menolak tampil ke depan, walaupun dibujuk-bujuk oleh rekan-rekannya.

Sebuah sumber mengatakan wawasan politik Mega ketika itu masih tergolong "hijau", ngomong pun belum berani, apalagi memimpin rapat. Dia lebih banyak diam dalam rapat-rapat dan lebih suka menyuruh Roy dan Tarto Sudiro memimpin rapat. Hampir semua anggota kelompok itu diam-diam sudah sepakat untuk mendorong Mega tampil memimpin "PDI baru", menggusur Soerjadi yang dinilai sudah terkooptasi pada kekuasaan Soeharto.

Kacang Lupa Kulitnya

Perjuangan "kelompok radikal" semakin sengit ketika aparat keamanan semakin keras menekan mereka. Setelah melalui perjuangan panjang, bahkan nyaris terancam nyawa, Megawati akhirnya berhasil diusung sebagai Ketua Umum PDI, nama partai pun berubah menjadi PDIP.

Kawan-kawan Mega, khususnya Roy, rupanya berpendapat mereka punya andil sangat besar dalam mengusung Mega ke kursi pimpinan tertinggi PDIP yang akhirnya membawa dirinya ke kursi Presiden. Tapi, di mata mereka, Mega ibarat "kacang yang melupakan kulitnya".

Sejak menduduki jabatan Wakil Presiden, Mega dikabarkan mulai menjaga jarak dengan mereka. Untuk bertemu di kantornya pun, yaitu Istana Wakil Presiden, tidak bisa. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, orang-orang kepercayaannya langsung diberikan tanda "pass khusus" sehingga mereka bisa keluar masuk Istana dengan bebas. Tapi, hal serupa tidak berlaku untuk Megawati.

Ketika Mega akhirnya menjadi Presiden, komunikasi bertambah sulit dan bertambah formal. Satu-satunya forum untuk berinteraksi hanyalah "forum Selasaan", yaitu rapat DPP di Lenteng Agung setiap hari Selasa.

Sejumlah kader partai - seperti Roy, Arifin dan Kwik Kian Gie - tidak suka melihat perilaku Ir Soetjipto yang suka menjilat. Dalam pemilihan umum (Pemilu) 1999, PDIP menang di Pulau Jawa (termasuk Jawa Barat di mana Golkar sangat kuat), Bali, Sumatera dan Lampung, kecuali Jawa Timur yang kalah satu kursi dari PKB. Ketika itu, Soetjipto Ketua DPD PDIP Jawa Timur. Di DKI Jakarta, PDIP menduduki peringkat I, menyabet 30 kursi DPRD. Roy-lah yang menjabat Ketua PDIP Jakarta.

Tahun 1999 MPR menggelar Sidang Umum, Tjipto diangkat Ketua Fraksi MPR, sedang Herry Achmadi Sekretarisnya. Lagi-lagi ia gagal mengusung Mega ke kursi Presiden. Pemilu tahun 2004, PDIP kalah memalukan. Ironisnya, Tjipto juga yang dipercayakan Megawati sebagai Ketua Tim Pemenangan Pemilu, dan Herry Achmadi sebagai Sekretaris. Dalam Kongres II yang baru lalu, Tjipto memang tidak lagi dipasang sebagai Sekjen, tapi Mega tetap mengangkatnya sebagai salah satu Ketua. Pramono dijadikan Sekjen.

Kelemahan Mega dalam memimpin partai, kata sebuah sumber, ia tidak menerapkan "merit system". Orang yang berjasa pada partai tidak pernah diberikan rewards. Sebaliknya, orang yang gagal tidak pernah diberikan punishment, malah tetap dipercaya untuk menduduki posisi-posisi kunci. Tapi, yang paling menjengkelkan kader-kader eks kawan seperjuangan Mega ialah intervensi kuat Taufik Kiemas (TK) dalam kehidupan partai.

TK - melalui beberapa fungsionaris partai - kata mereka, selalu campur tangan dalam pemilihan kepala daerah, khususnya pemilihan gubernur karena kepentingan-kepentingan sempit. Tapi, ironisnya, di hampir semua daerah di mana mereka "bermain", calon PDIP kalah. Ini membuat massa PDIP marah.

"Point of no Return"

Setelah Kongres II, perseteruan antara Roy dan Mega berambah sengit dan mencapai tahap point of no return. Roy mungkin menganggap kepalang basah. Dia tahu persis siapa itu Megawati sebenarnya. Dia tahu persis apa "modal perjuangan" Mega pada tahap awal. Maka, ia tidak pernah takut. Menurut saya, jika Megawati nekad memecat Roy dkk., ini merupakan tindakan set-back dan akan menampar mukanya sendiri. Sebab kelompok Gerakan Pembaharuan PDIP cukup mengakar dan mempunyai pendukung besar di akar rumput.

Yang mengherankan ialah bergabungnya trio Roy-Arifin-Laksamana. Roy dan Arifin semula tidak sejalan. Dua tahun lalu sudah muncul dua kubu dalam PDIP, masing masing "kubu Jenggala" (Arifin) dan "kubu Tirtayasa" (Roy cs). Kelompok Jenggala dituduh hendak menggulingkan Mega, sedang kelompok Tirtayasa membela Mega. Kenapa sekarang Roy dan Arifin bisa bersatu? Itu pertanda, keduanya melihat PDIP dalam status "lampu merah" setelah Mega dipilih kembali sebagai Ketua Umum.

Laksamana Sukardi semula juga dikenal "orang Mega". Ia dekat dengan Ketua Umum, dekat dengan TK. Laks sering disebut-sebut salah satu "kasir PDIP" dalam Pemilu 2004. Orang seperti Laks, akhirnya pecah kongsi juga dengan Mega. Lalu, ke mana Kwik Kian Gie? Dalam kepengurusan Gerakan Pembaharuan PDIP, kita tidak membaca nama Kwik. Kenapa dia tidak bergabung dengan Roy-Arifin-Laksamana?

Perseteruannya dengan Laksamana, mungkin menjadi salah satu ganjelan Kwik untuk bergabung. Ketika menjabat Menteri Negara BUMN, kebijakan-kebijakan Laksamana sering dikecam Kwik sebagai Ketua Bappenas. Kwik yang berkata tanpa tedeng aling-aling bahwa PDIP merupakan partai yang paling korup. Megawati pusing menghadapi gerakan itu, sebab ia tahu yang bergabung dalam gerakan itu bukanlah sembarang kader. Mereka punya massa. Maka, PDIP terancam pecah, dan parah sekali perpecahannya!

Penulis adalah Pengajar FISIP Universitas Pelita Harapan.

-Sebagaimana dimuat dalam SINAR HARAPAN 14 April 2005-

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/14/opi02.html

Kasus 27 Juli: MEGAWATI DISEBUTKAN TAHU RENCANA PENYERBUAN ITU

Kasus 27 Juli
Megawati Disebutkan Tahu Rencana Penyerbuan Itu...

Megawati mengetahui


Jatuhnya korban dalam peristiwa 27 Juli 1996 sebenarnya juga bisa dicegah apabila Megawati selaku Ketua Umum PDI menghendakinya. Karena, pada halaman 150, Tambunan menegaskan, Beberapa hari sebelumnya Megawati memberitahu para pimpinan Satgas, bahwa akan terjadi pengambilalihan paksa. Megawati menerima informasi itu dari seorang pejabat tinggi militer.

Pemaparan Tambunan (RO Tambunan) itu sejalan dengan pengakuan mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI DKI Jakarta Roy BB Janis. Saat memberikan testimoni pada peluncuran buku itu (buku RO Tambunan "Membela Demokrasi"), dia mengakui ditunjuk oleh Megawati sebagai penanggung jawab keamanan kantor DPP PDI. "Saya dua hari sebelumnya diberi tahu Ibu Megawati, akan ada penyerbuan ke kantor. Karena itu, penjagaan ditingkatkan," ujarnya. Dengan peringatan itu, dia selalu berjaga-jaga di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, hingga tanggal 27 Juli 1996 dini hari. Ia juga sempat berbincang-bincang dengan sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob), yang kala itu berjaga-jaga di sekitar Cikini. Ia meninggalkan kantor DPP PDI sekitar pukul 05.00.

"Saya pulang karena rasanya tidak mungkin ada pengambilalihan paksa pada pagi itu. Selain sudah pagi, masyarakat sudah beraktivitas, dan jalanan di depan kantor DPP PDI sangat ramai. Jadi, dalam pemikiran saya, tak mungkin ada penyerbuan itu," tutur mantan Ketua Fraksi PDI-P DPR itu. Akan tetapi, baru tiba di rumah, Roy mengakui ditelepon Megawati yang memberitahukan kantor DPP PDI diserbu massa. "Saya langsung kembali ke kantor DPP PDI," kata dia lagi.

Menurut Roy, sebenarnya sebagai Ketua Umum PDI, Megawati bisa menghindari jatuhnya korban dalam peristiwa 27 Juli itu apabila memerintahkan satgas dan massa meninggalkan lokasi itu. Karena, tidak mungkin mereka menghadapi "serbuan" aparat. Akan tetapi, Megawati ternyata lebih menitikberatkan pilihan politik daripada pilihan kemanusiaan.

Buku Membela Demokrasi juga menjadi tempat ungkapan kekecewaan Tambunan kepada Megawati. Pada halaman 172, ia menyatakan, Megawati tak sungguh-sungguh menegakkan kebenaran dan keadilan dalam peristiwa 27 Juli. Cukuplah orang sipil yang diadili dalam kasus itu. Bahkan, Megawati berusaha memberikan uang kepada Kelompok 124, korban serbuan ke kantor DPP PDI yang diadili, agar mereka tidak terus-menerus menuntut kelompok ABRI untuk diadili.

Roy Janis melalui komentarnya pada halaman 374 buku itu juga menuliskan, Mengenai penyelesaian kasus 27 Juli yang sempat dibuka lagi di DPR pada 2003, tetapi kemudian hilang begitu saja sampai sekarang, disebabkan juga karena sikap Mega sendiri yang tidak mempunyai untuk menyelesaikan kasus ini. Salah satu contohnya, Mega memilih gubernur yang terlibat langsung kasus 27 Juli. Mega sudah mengampuni pelaku....

Roy Janis "menunjuk" Sutiyoso, yang pada saat kasus 27 Juli terjadi, menjabat Panglima Kodam Jaya. Tahun 2002, Megawati merestui Sutiyoso menjadi calon gubernur DKI Jakarta untuk yang kedua kalinya. "Saat itu saya sempat bertemu dengan Pak Sutjipto (Sekjen PDI-P). Saya diminta menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta, mendampingi Sutiyoso. Rekomendasi DPP PDI-P sudah ada. Tetapi, saya tidak mau," ungkap Roy.

Tambunan juga menuliskan di halaman 163 bukunya, dia tahun 2002 ditelepon Sutiyoso dan diajak bertemu. Dalam pertemuan di kantor Gubernur DKI Jakarta, RO Tambunan diminta mendukung pencalonan kembali Sutiyoso. Tambunan tak memberikan jawaban. Namun, di surat kabar, Sutiyoso membantah telah bertemu Tambunan.

Dalam buku setebal 396 halaman itu, Tambunan juga menyebutkan sejumlah nama yang diduga terlibat kasus 27 Juli, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Sudi Silalahi, yang proses hukumnya belum tuntas. Ia memang melontarkan sangkaan, yang diyakininya sebagai fakta dan sejarah. Tinggal kini menunggu jawaban dari mereka yang disebutkan itu melalui buku sehingga ada obyektivitas sejarah bagi generasi berikut

Jumat, Januari 02, 2009

"Money Politics" dan Korupsi Saudara Sekandung

Money Politics adalah menggalang dukungan untuk mendapatkan suara pemilih dengan iming-iming uang.

Uang yang dibagi tersebut jumlahnya sangat besar, bisa berjuta-juta bahkan milyar-an atau lebih. Uang tersebut kemungkinan besar didapat dari sponsor ataupun dari sumber lain yang tidak wajar.

Apabila yang bersangkutan memenangkan pemilihan tersebut, hal pertama yang dilakukan olehnya adalah mengembalikan dana-dana yang berjumlah besar tadi. Tidak mungkin dana tersebut bisa dibayar kembali dengan gaji atau pendapatan resmi lainnya sebagai pejabat negara.

Telah dapat dipastikan dana tersebut didapatkan dari hasil komersialisasi jabatan, atau dengan kata lain korupsi.

Oleh sebab itu, dalam setiap pemilihan jangan memilih calon yang melakukan "money politics", karena ujung-ujungnya akan mendorong korupsi.

Memilih calon yang melakukan "money politics" sama dengan masuk ke dalam "Vicious Circle of Corruption"


Roy B.B. Janis

MARI REBUT KEMBALI!

MARI REBUT KEMBALI maknanya adalah, rakyat harus bisa merebut kembali hak-haknya yang selama ini dirampas oleh penguasa melalui KKN.

Bayangkan, negara kita ini SDA-nya selama 63 tahun merdeka khususnya di era ORBA dieksploitasi bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk kepentingan penguasa dan kroninya, serta konglomerat hitam, sementara rakyat hidupnya semakin menderita.

Jadi, makna MARI REBUT KEMBALI, adalah mengembalikan hak rakyat untuk hidup sejahtera sebagaimana cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena pada hakekatnya kemerdekaan Indonesia adalah untuk seluruh rakyat, bukan untuk orang perorang.


Roy B.B. Janis